Sering kita melihat musyawarah yang diwarnai dengan luapan emosi yang tidak seharusnya dibarengi dengan tindakan yang tidak mencerminkan kalau kita yang dikenal sebagai orang timur yang mempunyai tata krama yang halus.
Parahnya lagi hal tersebut sering dilakukan oleh orang-orang yang terpelajar dan menjadi panutan kita. Orang-orang yang kita anggap layak untuk mewakili kita menyerukan suara masyarakat. sampai-sampai mereka harus belajar etika kepada bangsa lain.
Lalu bagaimana dengan bangsa kita yang dikenal dengan budaya bertutur kata halus, sopan-santun, penuh dengan rasa tepo sliro...? hal tersebut disebabkan dengan tidak dipakainya tata krama, terutama tata krama jawa.
Hal ini bisa dilihat dari tidak diajarkannya Bahasa dan Tata krama Jawa ataupun Bahasa dan Budaya Daerah masing-masing. Kita semua tahu kita negara kepulauan yang mempunyai ragam adat, etika, dan tata krama sesuai dengan daerah masing-masing.
Karena saya orang jawa...... maka yang kita bicarakan adalah bahasa jawa.
Sejak lahir anak-anak sekarang diajarkan orang tuanya dengan bahasa Indonesia tetapi tidak dibarengi dengan bahasa ibu, Hal ini menyebabkan anak-anak kita buta dengan tata krama kejawaannya. Seharusnya, yang menjadi pensosialisasi bahasa Jawa alus pertama kali adalah orang tua. Orang tua yang harusnya mengenalkan bahasa Jawa alus. Karena dengan begitu, seorang anak akan terbiasa dengan memakai bahasa tersebut. Kemudian, sekolah. Sekolah mengajarkan bahasa Jawa alus kepada murid-muridnya. Sekolah dasar biasanya mengadakan mata pelajaran muatan lokal (mulok). Akan tetapi, sekarang ini tidak banyak orang tua yang mengajarkan bahasa alus tersebut. Orang tua cenderung lebih senang mengajarkan bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa. Begitu juga dengan sekolah. Sekolah-sekolah lebih banyak memprioritaskan bahasa Indoesia ketimbang bahasa Jawa alus.
Dampak negatif dari tidak dipakainya tata krama ini adalah tidak terjalin komunikasi yang selaras. Misalnya pembicaraan seorang anak dengan Ibunya. Ketika seorang anak berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada Ibunya, akan terlihat saru atau tidak sopan. Contoh: si Anak bertanya, “arep lungo ning endi, Mak?” akan terasa berbeda suasananya, apabila si Anak itu bertanya dengan bahasa Jawa alus, “badhe tindak ten pundi, Mak?”.
Coba rasakan kalimat tersebut.......... indah bukan ?.......
Walaupun dengan logat yang paling pelosok sekalipun akan dirasakan keselarasan bahasa dan terlihat indah untuk didengarkan, seolah mendengarkan lagu yang kita sukai.
Apakah ini suatu kemajuan zaman......... atau keterpurukan bangsa kita ?................
0 Comments:
Post a Comment